Ketegangan antara Cina dan Amerika Serikat kembali meningkat sejak awal Oktober 2025. Perselisihan terbaru dipicu oleh kebijakan tarif baru yang diberlakukan Washington terhadap produk-produk teknologi asal Cina, disertai pembatasan ekspor semikonduktor dan komponen penting lainnya. Sebagai respons, Beijing juga mengumumkan kebijakan balasan berupa pengenaan tarif impor tambahan dan pembatasan ekspor mineral langka ke AS.
Ketegangan ini langsung memicu gejolak di pasar global. Bursa saham di Asia, Eropa, dan Amerika serempak mengalami tekanan, sementara investor global beralih ke aset aman seperti emas, dolar AS, dan obligasi pemerintah.
Namun, bagaimana dampaknya terhadap pasar saham Indonesia, khususnya saham syariah yang semakin mencuri perhatian investor lokal?
Jalur Pengaruh Geopolitik ke Pasar Saham
Hubungan ekonomi global yang semakin terintegrasi membuat pasar Indonesia tak bisa lepas dari efek domino konflik negara besar. Ketegangan antara AS dan Cina mempengaruhi pasar saham Indonesia melalui beberapa saluran utama:
- Sentimen Investor Global
 Ketika ketidakpastian meningkat, investor cenderung mengurangi eksposur pada pasar negara berkembang, termasuk Indonesia. Hal ini dapat menekan IHSG dan Indeks Saham Syariah Indonesia (ISSI) dalam jangka pendek.
- Gangguan Rantai Pasok dan Ekspor-Impor
 Indonesia memiliki keterkaitan dagang yang cukup besar dengan Cina, terutama dalam sektor bahan baku industri dan manufaktur. Jika rantai pasok terganggu, laba perusahaan bisa menurun—terutama pada sektor otomotif, manufaktur, dan tambang.
- Fluktuasi Nilai Tukar dan Modal Asing
 Konflik global biasanya membuat dolar AS menguat, sementara mata uang emerging markets, termasuk rupiah, melemah. Rupiah yang melemah akan menekan perusahaan dengan utang luar negeri besar, termasuk beberapa emiten di sektor energi.
- Perubahan Harga Komoditas Dunia
 Cina adalah konsumen utama berbagai komoditas, seperti batu bara, nikel, dan minyak. Ketika ekonominya melambat akibat perang dagang, permintaan terhadap komoditas tersebut menurun, yang bisa memengaruhi kinerja saham-saham tambang.
Reaksi Pasar Global dan Regional
Menurut laporan Reuters (13 Oktober 2025), indeks saham Cina turun hingga 2,8% akibat kekhawatiran pasar terhadap tarif baru AS. Bursa Jepang dan Korea Selatan pun ikut melemah, sementara Indeks Dow Jones dan Nasdaq di Amerika juga mengalami tekanan.
Di Indonesia, indeks IHSG sempat terkoreksi tipis pada pekan kedua Oktober. Namun menariknya, saham-saham berlabel syariah yang bersifat defensif — seperti sektor telekomunikasi (TLKM), konsumsi (ICBP), dan farmasi (KLBF) — justru cenderung stabil. Hal ini menunjukkan bahwa saham syariah dengan fundamental kuat relatif lebih tahan terhadap gejolak global.
 
											Dampak Langsung terhadap Saham Syariah
Meskipun ketegangan AS–Cina berskala global, efeknya terhadap saham syariah di Indonesia cenderung tidak terlalu besar dibandingkan saham non-syariah, dengan alasan berikut:
- Rasio Utang Lebih Rendah:
 Emiten syariah diwajibkan menjaga rasio utang terhadap aset maksimal 33%, sesuai ketentuan POJK No. 8 Tahun 2025. Ketika suku bunga global naik akibat ketegangan geopolitik, perusahaan berutang besar akan terpukul—sementara emiten syariah relatif aman.
- Pendapatan Non-Halal Rendah:
 Emiten syariah memiliki porsi pendapatan non-halal maksimal 5%, yang berarti lebih fokus pada sektor riil dan produksi domestik, bukan transaksi spekulatif internasional yang rawan terpengaruh konflik global.
- Sektor Lebih Defensif:
 Banyak saham syariah berasal dari sektor konsumsi, infrastruktur domestik, dan kesehatan — sektor-sektor yang lebih stabil dibandingkan industri ekspor-impor.
Namun demikian, beberapa saham syariah di sektor tambang dan energi (seperti ANTM, ADRO, dan PGAS) tetap rentan terhadap fluktuasi harga komoditas akibat penurunan permintaan global dari Cina.
Peluang di Tengah Krisis
Dalam setiap ketegangan global, selalu ada peluang baru yang muncul. Indonesia berpotensi menjadi alternatif basis produksi bagi perusahaan-perusahaan yang ingin menghindari tarif impor AS terhadap produk asal Cina. Kondisi ini dapat meningkatkan investasi asing langsung (FDI) ke Indonesia, terutama di sektor industri dan teknologi halal.
Selain itu, permintaan terhadap produk-produk konsumsi dalam negeri tetap kuat karena didorong oleh stabilitas daya beli masyarakat. Emiten seperti ICBP (Indofood CBP) dan KLBF (Kalbe Farma) dapat menjadi contoh saham syariah yang diuntungkan dari pasar domestik yang solid.
Strategi Investasi Syariah Saat Ketegangan Global
Berikut beberapa strategi yang bisa diterapkan investor syariah di tengah ketidakpastian global:
- Pilih Saham Syariah Fundamentally Strong
 Fokus pada emiten dengan rasio utang rendah, arus kas positif, dan pangsa pasar kuat. Contoh yang masih stabil hingga Oktober 2025:- TLKM (Telekomunikasi Indonesia)
- ICBP (Konsumsi)
- KLBF (Farmasi)
- ADRO (Energi bersih & batubara)
- ANTM (Tambang nikel dan emas)
 
- Diversifikasi ke Reksadana Syariah
 Jika belum siap memilih saham sendiri, reksadana syariah bisa jadi alternatif. Beberapa produk seperti Sucorinvest Sharia Equity Fund dan Mandiri Syariah Investa Atraktif menunjukkan performa positif di tengah fluktuasi pasar.
- Hindari Saham Berisiko Tinggi
 Hindari saham yang volatilitasnya tinggi, terutama di sektor ekspor-impor, semikonduktor, atau properti yang bergantung pada investor asing.
- Pantau Daftar Efek Syariah (DES) Terbaru
 Dengan adanya aturan POJK 8/2025, ada potensi perubahan daftar saham syariah. Investor perlu memastikan saham yang dimiliki tetap memenuhi kriteria syariah terbaru.
- Manfaatkan Momen Koreksi Pasar
 Saat harga saham turun karena sentimen global, investor bisa memanfaatkan momentum untuk “buy on weakness” pada saham syariah yang fundamentalnya tetap kuat.
Risiko yang Perlu Diwaspadai
- Volatilitas Pasar Global — Sentimen bisa berubah cepat tergantung pernyataan atau kebijakan dari AS dan Cina.
- Pelemahan Rupiah — Bisa menekan emiten yang masih memiliki utang atau bahan baku impor.
- Keterbatasan Informasi Syariah — Investor sering terlambat mendapatkan informasi terkait perubahan status syariah suatu emiten.
- Krisis Lanjutan — Jika konflik melebar ke sektor finansial atau militer, dampak terhadap bursa bisa lebih dalam.
Konflik Cina–Amerika memang bukan isu baru, namun gelombang ketegangan yang muncul di tahun 2025 membawa pengaruh nyata terhadap arah pasar global. Bagi investor Indonesia, terutama yang berfokus pada saham syariah, kondisi ini menuntut kecermatan dan kehati-hatian lebih.
Kabar baiknya, saham syariah justru memiliki daya tahan yang relatif lebih kuat di tengah badai geopolitik — berkat karakteristiknya yang berbasis sektor riil, rendah utang, dan bebas spekulasi berlebihan.
Ke depan, investor syariah perlu terus memperhatikan:
- Fundamental perusahaan, bukan sekadar sentimen global,
- Kepatuhan terhadap prinsip syariah, dan
- Kebijakan makroekonomi pemerintah Indonesia yang bisa menjaga stabilitas pasar domestik.
Dengan strategi yang tepat, justru di tengah ketegangan global seperti sekarang, peluang investasi syariah di Indonesia bisa tumbuh semakin matang dan berkelanjutan.
Suka dengan artikel ini? Yuk sharing ke temen-temen kamu ya. Semoga bermanfaat!
 
                    
                    