Penerapan utang berbasis bunga dalam lembaga keuangan syariah merupakan suatu hal yang sangat krusial. Bagaimana tidak? bunga selalu dikaitkan dengan riba. Sedangkan riba merupakan transaksi yang diharamkan oleh Allah dan sudah jelas dalilnya. Bahkan, kata riba ini disebutkan berkali-kali dalam Al-Qur’an. Sehingga dapat dikatakan bahwa dengan jelas dan tegas Allah telah mengharamkan riba.
Oleh sebab itu, berbagai lembaga/otoritas yang menaungi lembaga keuangan syariah sepakat untuk menetapkan larangan transaksi riba pada lembaga keuangan syariah. Lantas, bagaimana dengan saham syariah? apakah syarat untuk menerbitkan saham syariah emiten harus benar-benar terlepas dari bunga?
Saat membaca kriteria saham syariah yang dicantumkan dalam POJK no. 35 tahun 2017 tentang Kriteria dan Penerbitan Daftar Efek Syariah pasal 2, tertulis kriteria rasio keuangan pada efek syariah sebagai berikut:
- Total utang berbasis bunga dibandingkan dengan total aset tidak lebih dari 45%
- Total pendapatan bungan dan pendapatan tidak halal lainnya dibandingkan dengan total pendapatan usaha dan pendapatan lain-lain tidak lebih dari 10%.
Setelah mengetahui kriteria mengenai rasio keuangan tersebut, tentu akan timbul sebuah pertanyaan. “Apakah OJK membolehkan adanya transaksi bunga pada saham syariah?”
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu kita ketahui bahwa lembaga keuangan di Indonesia masih di dominasi oleh lembaga keuangan konvensional. Hal tersebut menjadi penyebab sulitnya bagi emiten untuk menghindari bunga, sehingga transaksi dalam lembaga keuangan syariah belum bisa dilaksanakan secara kaffah.
Bagi suatu perusahaan, utang merupakan salah satu hal yang cukup sulit untuk dihindari. Tidak dapat dipungkiri, sebesar apapun suatu perusahaan, pasti membutuhkan dana tambahan untuk meningkatkat performa perusahaannya. Seperti yang dikatakan sebelumnya bahwa keungan Indonesia belum dapat sepenuhnya terlepas dari bank konvensional, itu menjadi pertanda bahwa sulit bagi suatu perusahaan untuk tidak berkontribusi dalam utang berbasis bunga.
Latar Belakang Saham Syariah
Berdasarkan latar belakang yang mendesak tersebut dan dengan berbagai pertimbangan, akhirnya DSN-MUI memberikan keringanan dengan membolehkan adanya utang berbasis bunga demi meningkatkan kinerja suatu perusahaan namun tentunya dengan aturan dan batasan yang telah ditentukan. Kriteria tersebut merupakan hasil diskusi antara DSN-MUI dan OJK (yang pada saat itu masih Bapepam LK).
Hal tersebut tentunya dilakukan demi ke-mashlahat-an bersama. Jika dilihat dari segi maslahat, kehadiran saham syariah ini lebih banyak mashlahat-nya dari pada madharat-nya. Salah satu contoh maslahat atas keberadaan saham syariah ini adalah dapat meningkatkan perekonomian negara. Seperti saham pada umunya, peran saham syariah juga diharapkan dapat meningkatkan perekonomian Indonesia. Dengan adanya saham syariah, jumlah pengangguran di Indonesia dapat berkurang karena saham selalu berkaitan dengan perusahaan.
Semakin baik kinerja suatu perusahaan, semakin banyak investor yang tertarik untuk berinvestasi di perusahaan tersebut dan semakin banyak pula karyawan yang dibutuhkan oleh perusahaan tersebut. Sehingga perusahaan tersebut akan membuka lowongan pekerjaan agar kinerja pada perusahaan tersebut berjalan dengan maksimal. Selain itu, perusahaan tersebut juga tentunya diwajibkan untuk membayar pajak perusahaan sehingga bertambahlah pendapatan negara.
Oleh sebab itu, saham syariah harus tetap ada meskipun masih terdapat toleransi atas bunga pada kriteria saham syariah, karena utang dan pendapatan berbasis bunga masih sulit untuk dihindari dan belum memungkinkan untuk menjalankan syariah secara kaffah.
Kriteria Saham Syariah
Kriteria dalam penerbitan efek syariah termasuk saham syariah ini tidak bersifat permanen. Hal tersebut ditunjukkan oleh adanya perubahan pada batas rasio keuangan. Sebelumnya, total utang berbasis bunga dibandingkan dengan total ekuitas tidak lebih dari 82%. Saat ini, telah diperbaharui. Total utang berbasis bunga dibandingkan total aset tidak lebih dari 45%.
Selain perubahan batas total utang, terdapat perbedaan lain yang terlihat dalam pernyataan tersebut. Jika sebelumnya rasio keuangan menggunakan perbandingan total ekuitas, pada saat rasio keuangan menggunakan pembandingan total aset. Mengingat adanya dana non halal yang mungkin ada pada suatu saham syariah, dana tersebut tentunya akan dijadikan sebagai dana sosial dan dialokasikan untuk ke-mashlahat-an umat. Dalam hal ini, DSN mempunyai wewenang untuk menentukan penggunaan dana tersebut.
Faktanya, penetapan kriteria rasio keuangan ini tidak hanya berlaku di Indonesia aja loh. Tapi juga berlaku di negara-negara lain seperti Malaysia dan Amerika. Namun tiap-tiap negara mempunyai ketentuan yang berbeda. Ketentuan tersebut disesuaikan dengan kondisi dari masing-masing negara.
Suka dengan artikel ini? Yuk sharing ke temen-temen kamu ya. Semoga bermanfaat!