Industri perbankan merupakan industri penting sekaligus pendukung perekonomian suatu negara. Ibaratnya perbankan ini sebagai bahan bakar pertumbuhan ekonomi suatu negara. Maka dari itu, banyak investor yang tertarik untuk berinvestasi di industri perbankan. Namun, bagi investor syariah pilihan di sektor ini sangat terbatas. Karena bank konvensional tidak termasuk dalam ISSI (Indeks Saham Syariah Indonesia).
Pada akhir tahun 2020, bursa digegerkan dengan rencana merger 3 bank syariah negara, yaitu Bank Syariah Mandiri, Bank BNI Syariah dan Bank BRI Syariah. Hasil merger bank ini akan dinamakan PT Bank Syariah Indonesia Tbk. (kode emiten: BRIS). Dengan mergernya ketiga bank ini akan menjadikan BRIS sebagai bank syariah terbesar di Indonesia sekaligus sebagai aktor pendorong perkembangan industri syariah di Indonesia. Lalu, bagaimana kinerja dan prospek BRIS sampai saat ini?
Model Bisnis
Secara umum, model bisnis bank konvensional dan syariah sama. Bank berperan sebagai penengah atau intermediasi antara pihak yang mempunyai kelebihan dana dan pihak yang membutuhkan dana. Pertama, bank harus mampu menarik minat pihak yang mempunyai kelebihan dana atau dana pihak ketiga (DPK) untuk mau menitipkan dananya. Bisa dalam bentuk tabungan dan deposito dengan bunga atau persentase pembagian hasil tertentu. Setelah itu, pihak bank akan menyalurkan dana tadi dalam bentuk pinjaman dengan bunga atau marjin keuntungan tertentu. Kemudian, bank akan mendapatkan keuntungan dari selisih antara bunga atau marjin keuntungan pinjaman dengan tabungan atau deposito dari nasabah sesuai yang dijanjikan.
Khusus dalam perbankan syariah ada beberapa hal yang membedakan dengan bank konvensional, yaitu:
- Dalam bank konvensional semua DPK berstatus liabilitas yang mana ada kewajiban untuk mengembalikan kepada nasabah. Sedangkan pada bank Syariah, hanya giro dan tabungan dengan akad wadiah (titip simpan) yang berstatus liabilitas tanpa ada janji bagi hasil.
- DPK berupa tabungan dan deposito yang berakad mudharabah (titip kelola) berstatus sebagai dana syirkah temporer (DST). DST bukan termasuk liabilitas karena bank tidak ada kewajiban untuk mengembalikan dana kecuali jika ada pelanggaran kesepakatan dari pihak bank. DST juga tidak termasuk equitas karena sifatnya yang sementara dan pemberi dana tidak punya hak yang sama dengan pemilik saham. Dengan risiko kehilangan dana jika bank merugi, maka pemberi dana dalam akad mudharabah layak mendapatkan bagi hasil dengan nisbah (pembagian) yang sesuai kesepakatan.
- Bank syariah juga tidak diperbolehkan menyalurkan dananya kepada hal-hal yang bertentangan dengan syariah.
- Secara umum, bank syariah punya 3 jenis akad dalam pembiayaan, yaitu murabahah (jual beli), musyarakah (kerja sama permodalan), dan ijarah (sewa).
- Bank syariah akan mendapatakan pendapatan margin (selisih harga jual dan harga beli) dari akad jual beli, pendapatan bagi hasil dari akad kerja sama permodalan, dan pendapatan sewa dari akad sewa. Pendapatan ini kemudian dibagi kepada pemberi dana tadi sesuai dengan nisbah yang disepakati.
Kinerja BRIS
Hingga bulan Juni 2021, total pembiayaan yang disalurkan BRIS sebesar 161,1 Triliun. Jumlah ini meningkat sekitar 11% dibandingkan periode sama di tahun 2020 yang sebesar 144,5 triliun. Porsi terbesar dari pembiayaan tersebut disumbang dari segmen konsumer yang mencapai angka sebesar Rp 75 triliun, atau setara dengan 46,5% dari total pembiayaan.
Selanjutnya mari kita analisa rasio keuangan khusus industry perbankan dari BRIS.
Pertama, mari kita bahas rasio Non Performing Financing (NPF). NPF mengukur tingkat resiko kegagalan dari pembiayaan yang disalurkan. NPF gross dihitung dengan membagi angka pembiayaan bermasalah yang masuk dalam kriteria pembiayaan dalam perhatian khusus, kurang lancar, diragukan, dan macet dengan total pembiayaan yang disalurkan. Sedangkan, NPF net hanya memperhatikan pembiayaan bermasalah dalam kriteria kurang lancar, diragukan, dan macet.
Angka NPF gross dan net BRIS mengalamai penurunan dibandingkan tahun sebelumnya di periode yang sama. Ini menunjukkan jika resiko kegagalan pembiayaan BRIS semakin turun. Standar NPF gross yang ditetapkan oleh Bank Indonesia (BI) adalah <5%.
Cadangan kerugian Penurunan Nilai (CKPN) adalah cadangan yang dibuat bank dengan tujuan untuk menghadapi risiko kerugian yang diakibatkan oleh pembiayaan aset produktifnya. Semakin tinggi rasionya, berarti bank cukup prudent (hati-hati) dan siap menutupi kerugian jika sewaktu-waktu nilai pembiayaannya berkurang akibat restrukturisasi dan keringanan marjin. Rasio CKPN dibanding aset keuangan produktif pada bulan Juni 2021 sebesar 3,1% meningkat dari 2,39% pada bulan Juni 2020.
Angka Financing to Deposit Ratio (FDR) mengalami penurunan. FDR menghitung perbandingan antara pembiayaan yang disalurkan terhadap DPK. Rentang optimalnya sendiri antara 80 – 90%. Karena semakin kecil FDR berarti bank akan kurang optimal dalam menyalurkan pembiayaan. Jika angkanya terlalu besar, maka akan terlalu berisiko bagi likuiditas.
Rasio profitabilitas, ROA, ROE dan Net Income mengalami peningkatan. Namun, nilai ROA BRIS masih tergolong kecil dibandingkan bank sebanding lainnya. Ini artinya laba bersih dibandingkan dengan total aset produktifnya masih belum optimal.
Efisiensi operasional BRIS juga bisa kita lihat dari rasio BOPO (Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional) dan CIR (Cost to Income Ratio) yang menurun. Ini berarti operasional BRIS semakin efektif dibandingkan tahun lalu di periode yang sama.
Peluang Pertumbuhan
Indonesia yang mayoritas masyarakatnya muslim menjadi peluang pertumbuhan yang sangat besar bagi BRIS. Apalagi setelah merger asetnya menjadi sangat besar sehingga mempunyai kapasitas pembiayaan yang lebih besar. Mengacu kepada public expose BRIS 2020, penetrasi syariah di Indonesia dibandingkan dengan jumlah penduduk muslim masih sangat rendah dibandingkan negara lain.
Manajemen BRIS mengatakan setelah merger pihaknya akan fokus ke segmen wholesale (korporasi) dan consumer. Yang mana sudah menjadi DNA dari ketiga bank sebelumnya. Segmen wholesale akan menyasar BUMN dan swasta beraset besar serta ada peluang untuk menjajaki ekspansi ke pasar Sukuk dan Aset management Global. Rencananya BRIS akan membuka kantor cabang di Dubai untuk membantu perusahaan Indonesia yang bagus untuk bisa menerbitkan sukuk secara global.
Selain itu, segmen UMKM (usaha mikro, kecil dan menengah) akan terus dikembangkan. BRIS akan mengembangkan segmen ini secara lebih terintegrasi dengan menggarap value chain dari bisnis wholesale.
Segmen consumer akan menjadi growth driver BRIS yang dampaknya bisa terlihat dalam waktu dekat. BRIS sudah punya produk pembiayaan yang cukup inovatif, yaitu Mitraguna. Produk berbasis payroll (gaji) sebagai jaminan ini sudah banyak digunakan oleh Apartur Sipil Negara (ASN). Selain itu, dengan adanya aplikasi BSI Mobile akan memudahkan transaksi keuangan nasabah. Pada laporan keuangan bulan Juni 2021, produk pembiayaan ini memiliki porsi terbesar yang mencapai angka sebesar Rp 75 triliun, atau setara dengan 46,5% dari total pembiayaan.
Selain itu, terdapat potensi yang sangat besar untuk menguasai market share di Aceh akibat dari penerapan Qanun Syariah. Bank konvensional seperti Bank Panin, CIMB Niaga, BRI, BCA, Mandiri dan BNI sudah mulai menutup operasionalnya di Aceh. Ini akan menjadi peluang BRIS untuk bertumbuh dari segi DPK dan pembiayaan syariah.
Kesimpulan
Secara umum kinerja BRIS masih tergolong baik. Prospek menjanjikan dan pertumbuhan kedepan yang masih luas diiringi meningkatnya permintaan terhadap produk keuangan syariah. Belum lagi BRIS juga sudah punya layanan secara digital yang akan berdampak pada efisiensi operasional.
Harga saham BRIS sekarang sudah naik sekitar 400% setelah berita merger keluar di public pada akhir 2020. Lebih baik wait & see terlebih dahulu menunggu harga turun ke rata-rata. Sebagus apapun saham jika dibeli harga yang terlalu tinggi tidak akan memberikan imbal hasil yang optimal terhadap investor.