Jual Beli Mata Uang (Al-Sharf) Menurut Fatwa DSN-MUI

by Minsya
9 minutes read

Jual beli mata uang, atau yang dikenal dengan istilah valuta asing (forex), merupakan salah satu kegiatan perdagangan yang vital dalam dunia keuangan global. Seiring dengan perkembangan teknologi dan globalisasi, perdagangan mata uang semakin menjadi bagian integral dari aktivitas ekonomi di seluruh dunia. Namun bagaimana dalam pandangan Islam?

Prosedur jual beli mata uang umumnya dilakukan melalui pasar valuta asing (foreign exchange market), di mana mata uang dari berbagai negara diperdagangkan. Transaksi di pasar forex dapat dilakukan secara langsung antara dua pihak (over-the-counter) atau melalui platform perdagangan online yang disediakan oleh broker forex.

Untuk melakukan transaksi, investor memilih pasangan mata uang yang ingin dibeli atau dijual berdasarkan analisis pasar dan berita ekonomi terkini. Setelah memilih pasangan mata uang, investor akan menempatkan order untuk membeli atau menjual dengan harapan mendapatkan keuntungan dari perubahan nilai tukar mata uang tersebut.

Menurut Pandangan Islam

Jual beli mata uang, atau dikenal sebagai forex trading, adalah topik yang menarik dan seringkali menjadi perhatian bagi umat Islam karena berkaitan dengan hukum dan prinsip-prinsip syariah. Dalam Islam, seperti dalam banyak agama lainnya, ada ketentuan dan panduan khusus terkait jual beli dan perdagangan, termasuk perdagangan mata uang. Berikut adalah beberapa poin penting yang perlu dipertimbangkan dalam konteks jual beli mata uang dalam Islam:

  1. Hukum Dasar: Jual beli mata uang secara prinsip diperbolehkan dalam Islam sesuai FATWA DSN MUI NOMOR 28/DSN-MUI/III/2002 , asalkan dilakukan dengan syarat-syarat tertentu sesuai dengan hukum syariah. Namun, seperti halnya dalam segala bentuk bisnis, ada larangan untuk terlibat dalam aktivitas yang dianggap haram atau tidak sesuai dengan prinsip-prinsip Islam, seperti riba (bunga), maysir (perjudian), dan gharar (ketidakpastian yang tidak sehat).

  2. Syarat-Syarat: Dalam jual beli mata uang, terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi agar transaksi tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Beberapa syarat tersebut meliputi:

    • Pembayaran tunai: Transaksi harus dilakukan secara tunai (spot), dengan pembayaran yang dilakukan secara langsung pada saat penyerahan.
    • Tidak ada unsur riba: Dalam Islam, riba atau bunga dianggap sebagai haram. Oleh karena itu, tidak boleh ada elemen bunga dalam transaksi jual beli mata uang.
    • Tidak ada unsur spekulasi: Transaksi harus dilakukan dengan tujuan yang jelas, bukan untuk tujuan spekulasi semata. Spekulasi yang berlebihan atau tidak jelas dapat dianggap sebagai maysir (perjudian) yang juga diharamkan dalam Islam.
  3. Transaksi Spot: Dalam Islam, transaksi spot dianggap sebagai yang paling sesuai dengan prinsip syariah dalam jual beli mata uang. Transaksi spot adalah transaksi yang melibatkan pembelian atau penjualan mata uang dengan penyerahan dan pembayaran yang dilakukan secara langsung, biasanya dalam waktu dua hari kerja.

  4. Pentingnya Pengetahuan: Sebelum terlibat dalam jual beli mata uang, sangat penting bagi seorang Muslim untuk memahami prinsip-prinsip syariah yang terkait dengan transaksi tersebut. Hal ini termasuk memahami risiko-risiko yang terkait, serta mengetahui strategi dan prinsip-prinsip yang diperlukan untuk melakukan transaksi yang sesuai dengan hukum Islam.

jual beli mata uang
freepik.com

FATWA DEWAN SYARI’AH NASIONAL Nomor 28/DSN-MUI/III/2002 Tentang Jual Beli Mata Uang (al-Sharf)

Dewan Syariah Nasional setelah Menimbang :

  • bahwa dalam sejumlah kegiatan untuk memenuhi berbagai keperluan, seringkali diperlukan transaksi jual-beli mata uang (al-sharf), baik antar mata uang sejenis maupun antar mata uang berlainan jenis;
  • bahwa dalam ‘urf tijari (tradisi perdagangan) transak-si jual-beli mata uang dikenal beberapa bentuk transaksi yang status hukumnya dalam pandang ajaran Islam berbeda antara satu bentuk dengan bentuk lain;
  • bahwa agar kegiatan transaksi tersebut dilakukan sesuai dengan ajaran Islam, DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang al-sharf untuk dijadikan pedoman.

Mengingat :

  1. Firman Allah, QS. al-Baqarah [2]: 275:

    … وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا …

    “… Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba ….”

  2. Hadits Nabi riwayat al-Baihaqi dan Ibnu Majah dari Abu Sa’id al-Khudri:

    أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنِّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ، (رواه البيهقي وابن ماجه وصححه ابن حبان)

    Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya jual beli itu hanya boleh dilakukan atas dasar kerelaan (antara kedua belah pihak)” (HR. al-Baihaqi dan Ibnu Majah, dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban).

  3. Hadits Nabi riwayat Muslim, Abu Daud, Tirmizi, Nasa’i, dan Ibn Majah, dengan teks Muslim dari ‘Ubadah bin Shamit, Nabi s.a.w. bersabda:

    الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ، سَوَاءً بِسَوَاءٍ، يَدًا بِيَدٍ، فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ اْلأَصْنَافُ فَبِيْعُوْا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ.

    “(Juallah) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam (dengan syarat harus) sama dan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai.”

  4. Hadits Nabi riwayat Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Ahmad, dari Umar bin Khatthab, Nabi s.a.w. bersabda:

    الذَّهَبُ بِالْوَرِقِ رِبًا إِلاَّ هَاءَ وَهَاءَ …

    “(Jual beli) emas dengan perak adalah riba kecuali (dilakukan) secara tunai.”

  5. Hadits Nabi riwayat Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri, Nabi s.a.w. bersabda:

    لاَ تَبِيْعُوا الذَّهَبَ بِالذَّهَبِ إِلاَّ مِثْلاً بِمِثْلٍ وَلاَ تُشِفُّوْا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ، وَلاَ تَبِيْعُوا الْوَرِقَ بِالْوَرِقِ إِلاَّ مِثْلاً بِمِثْلٍ وَلاَ تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ، وَلاَ تَبِيْعُوا مِنْهَا غَائِبًا بِنَاجِزٍ.

    “Janganlah kamu menjual emas dengan emas kecuali sama (nilainya) dan janganlah menambahkan sebagian atas sebagian yang lain; janganlah menjual perak dengan perak kecuali sama (nilainya) dan janganlah menambahkan sebagian atas sebagian yang lain; dan janganlah menjual emas dan perak tersebut yang tidak tunai dengan yang tunai.”

  6. Hadits Nabi riwayat Muslim dari Bara’ bin ‘Azib dan Zaid bin Arqam:

    نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْوَرِقِ بِالذَّهَبِ دَيْنًا.

    “Rasulullah saw melarang menjual perak dengan emas secara piutang (tidak tunai).”

  7. Hadits Nabi riwayat Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf al-Muzani, Nabi s.a.w. bersabda:

    الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلاَّ صُلْحًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا.

    “Perjanjian boleh dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”

  8. Ijma’.
    Ulama sepakat (ijma’) bahwa akad al-sharf disyari’at-kan dengan syarat-syarat tertentu.

Memperhatikan :

  1. Surat dari pimpinan Unit Usaha Syariah Bank BNI Nomor: UUS/2/878.
  2. Pendapat peserta Rapat Pleno DSN pada hari Kamis, tanggal 14 Muharram 1423 H/ 28 Maret 2002 M.

Putusan DSN MUI Terkait Jual Beli Mata Uang

Transaksi jual beli mata uang pada prinsipnya boleh dengan ketentuan sebagai berikut:

  1. Tidak untuk spekulasi (untung-untungan)
  2. Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan)
  3. Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus sama dan secara tunai (at-taqabudh).
  4. Apabila berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku pada saat transaksi dilakukan dan secara tunai.

Jenis-jenis Transaksi Valuta Asing.

  1. Transaksi Spot, yaitu transaksi pembelian dan pen-jualan valuta asing (valas) untuk penyerahan pada saat itu (over the counter) atau penyelesaiannya  paling lambat dalam jangka waktu dua hari. Hukumnya adalah boleh, karena dianggap tunai, sedangkan waktu dua hari dianggap sebagai proses penyelesaian yang tidak bisa dihindari (مِمَّا لاَ بُدّ منه) dan merupakan transaksi internasional.
  2. Transaksi Forward, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valas yang nilainya ditetapkan pada saat sekarang dan diberlakukan untuk waktu yang akan datang, antara 2 x 24 jam sampai dengan satu tahun. Hukumnya adalah haram, karena harga yang diguna-kan adalah harga yang diperjanjikan (muwa’adah) dan penyerahannya dilakukan di kemudian hari, padahal harga pada waktu penyerahan tersebut belum tentu sama dengan nilai yang disepakati, kecuali dilakukan dalam bentuk forward agreement untuk kebutuhan yang tidak dapat dihindari (lil hajah).
  3. Transaksi Swap, yaitu suatu kontrak pembelian atau penjualan valas dengan harga spot yang dikombinasi-kan dengan pembelian antara penjualan valas yang sama dengan harga forward. Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir (spekulasi).
  4. Transaksi Option, yaitu kontrak untuk memperoleh hak dalam rangka membeli atau hak untuk menjual yang tidak harus dilakukan atas sejumlah unit valuta asing pada harga dan jangka waktu atau tanggal akhir tertentu. Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir (spekulasi).

Kesimpulan Menurut Ulama

Dikutip dari Konsultasi Syariah: Jual Beli Mata Uang (Republika). Ada tiga ketentuan atau rumus terkait jual beli atau tukar menukar antara mata uang yang sama atau berbeda (valuta asing).

Ketentuan pertama, Apabila ada tukar menukar atau jual beli antara mata uang yang sama, seperti mata uang rupiah dengan rupiah, mata uang dolar dengan dolar,  maka harus tunai dan sama nominal serta nilainya. Seperti penukaran antara Rp 100 ribu dengan Rp 100 ribu rupiah recehan, harus dilakukan dengan tunai dan nominalnya sama.

Kedua, apabila ada penukaran antara mata uang yang berbeda atau dengan valuta asing, seperti penukaran rupiah dengan dolar, dolar dengan rial, atau rupiah dengan rial, maka syaratnya hanya satu, yaitu tunai. Oleh karena itu, dalam bab ini, diperbolehkan untuk mengambil margin atas penjualan mata uang yang berbeda. Dengan demikian, para pelaku bisnis money changer, misalnya, diperbolehkan melakukan transaksi valas dengan syarat tunai. Jika ada transaksi menukar atau membeli 100 dolar dengan rupiah, money changer boleh mengambil margin dari harga jual tersebut.

Ketiga, apabila ada jual beli antara mata uang dengan komoditas (sil’ah) maka yang menjadi referensi adalah kesepakatan antara penjual dan  pembeli. Boleh tunai atau tidak tunai, boleh mengambil margin, dan tidak disyaratkan tunai dan sama nominalnya. Semuanya berpulang pada kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak. Sebagaimana yang lazim dilakukan masyarakat ketika membeli kebutuhan sehari-hari dengan rupiah, tidak syaratkan tunai dan sama, boleh tidak tunai, mengangsur, atau tunai, dan diperbolehkan mengambil margin sesuai kesepakatan kedua belah pihak. Oleh karena itu,  transaksi yang berlaku dalam toko-toko swalayan, baik secara tunai maupun tidak tunai itu termasuk dalam kaidah atau rumus ketiga ini.

Ketiga rumus ini sesuai dengan hadis Ubadah bin Shamit dan Umar al-Faruq. Hadis dari Ubadah bin Shamit berbunyi, “(Juallah) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, syair dengan syair, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam (dengan syarat harus) sama dan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai.” (HR Muslim, Abu Daud, Tirmizi, Nasa’i, dan Ibn Majah). Dan hadis dari Umar al-Faruq, “(Jual beli) emas dengan perak adalah riba kecuali (dilakukan) secara tunai.”  (Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Ahmad).

Hadis Ubadah bin Shamit mensyaratkan transaksi antara mata uang yang sama harus sama nilai dan nominalnya. Sedangkan, hadis Umar al-Faruq mensyaratkan transaksi antara mata uang yang sama itu harus tunai. Sedangkan, transaksi antara mata uang yang berbeda boleh tidak sama, tetapi harus  tunai. Sedangkan, transaksi antara uang dan barang itu tidak termasuk dalam kedua hadis tersebut di atas. Oleh karena itu, tidak diharuskan tunai dan sama. Hal yang menjadi referensi adalah kesepakatan kedua belah pihak. 

Kaidah yang berlaku tersebut di atas, itu juga sesuai dengan maqashid syariah, bahwa mata uang seperti rupiah, dolar, dan sebagainya adalah alat tukar, bukan komoditas. Uang seharusnya menjadi alat tukar yang menghasilkan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan pelaku pasar dan masyarakat  pada umumnya. 

Oleh karena itu, menukar rupiah dengan rupiah nyaris tidak diperbolehkan kecuali tunai dan sama nominalnya. Dari aspek maqashid dan maslahat, dari ketiga rumus di atas yang paling banyak dilakukan adalah rumus ketiga, yakni masyarakat membeli dengan rupiah atau mata uang yang lain untuk membeli barang dan jasa. Dalam kaidah ini terlihat longgar, tidak disyaratkan tunai dan tidak disyaratkan sama. Sesuai dengan firman Allah SWT, “Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (QS al-Hajj: 78). Wallahu ‘alam.

Suka dengan artikel ini? Yuk sharing ke temen-temen kamu ya. Semoga bermanfaat!

You may also like

Leave a Comment

-
00:00
00:00
Update Required Flash plugin
-
00:00
00:00