Hukum Jual Beli Emas Menurut Fatwa DSN MUI

by Minsya
16 minutes read

Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) telah menetapkan fatwa tentang transaksi jual beli emas secara tidak tunai setelah menimbang beberapa hal yang menjadi perhatian. Transaksi jual beli emas di masyarakat seringkali dilakukan tanpa menggunakan pembayaran tunai, melainkan dengan cara angsuran atau secara tangguh. Hal ini menyebabkan perbedaan pendapat di kalangan umat Islam, antara yang membolehkan dan yang tidak membolehkan. Sebagai respon atas permasalahan ini, DSN-MUI merasa perlu untuk mengeluarkan fatwa sebagai pedoman dalam transaksi jual beli emas secara tidak tunai.

Pertimbangan DSN-MUI mengenai transaksi jual beli emas ini mencerminkan kehati-hatian dalam menghadapi isu-isu keuangan yang berkaitan dengan prinsip-prinsip syariah. Meskipun emas dianggap sebagai aset yang diperbolehkan dalam Islam, cara pembayaran yang tidak tunai dalam transaksi jual beli emas memunculkan perbedaan pendapat yang perlu diatasi.

Dengan menetapkan fatwa Nomor 77/DSN-MUI/VI/2010, DSN-MUI berharap dapat memberikan pedoman yang jelas bagi umat Islam dalam melakukan transaksi jual beli emas secara tidak tunai. Fatwa ini diharapkan dapat mengurangi perbedaan pendapat dan menciptakan kesepakatan di antara umat Islam mengenai praktik keuangan yang sesuai dengan ajaran agama.

jual beli emas
freepik.com

Transaksi Emas

Emas telah menjadi salah satu komoditas berharga yang diperdagangkan sejak zaman dahulu. Bahkan sejak zaman prasejarah, emas telah digunakan sebagai alat tukar dalam transaksi jual beli. Dalam konteks Islam, emas memiliki nilai penting karena telah diatur dalam ajaran agama sebagai salah satu aset yang diizinkan untuk dimiliki dan diperdagangkan. Islam memberikan pedoman yang jelas mengenai bagaimana berjual-beli emas agar tidak terjerumus dalam praktik riba, yang dianggap sebagai dosa besar dan merugikan bagi manusia, baik di dunia maupun di akhirat.

Rujukan Al Quran dan Hadist Nabi

Firman Allah, QS. al-Baqarah [2]: 275:

… وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا …

“… Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba ….”

Merujuk beberapa Hadis Nabi s.a.w.; antara lain:

1.Hadits Nabi riwayat al-Baihaqi dan Ibnu Majah dari Abu Sa’id al-Khudri:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنِّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ، (رواه البيهقي وابن ماجه وصححه ابن حبان)

Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya jual beli itu hanya boleh dilakukan atas dasar kerelaan (antara kedua belah pihak)” (HR. al-Baihaqi dan Ibnu Majah, dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban).

2. Hadits Nabi riwayat Muslim, Abu Daud, Tirmizi, Nasa’i, dan Ibn Majah, dengan teks Muslim dari ‘Ubadah bin Shamit, Nabi s.a.w. bersabda:

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ، سَوَاءً بِسَوَاءٍ، يَدًا بِيَدٍ، فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ اْلأَصْنَافُ فَبِيْعُوْا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ.

“(Juallah) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam (dengan syarat harus) sama dan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai.

3. Hadits Nabi riwayat Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Ahmad, dari Umar bin Khatthab, Nabi s.a.w. bersabda:

… الذَّهَبُ بِالْوَرِقِ رِبًا إِلاَّ هَاءَ وَهَاءَ 

“(Jual beli) emas dengan perak adalah riba kecuali (dilakukan) secara tunai.”

4. Hadits Nabi riwayat Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri, Nabi s.a.w. bersabda:

لاَ تَبِيْعُوا الذَّهَبَ بِالذَّهَبِ إِلاَّ مِثْلاً بِمِثْلٍ وَلاَ تُشِفُّوْا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ، وَلاَ تَبِيْعُوا الْوَرِقَ بِالْوَرِقِ إِلاَّ مِثْلاً بِمِثْلٍ وَلاَ تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ، وَلاَ تَبِيْعُوا مِنْهَا غَائِبًا بِنَاجِزٍ.

“Janganlah kamu menjual emas dengan emas kecuali sama (nilainya) dan janganlah menambahkan sebagian atas sebagian yang lain; janganlah menjual perak dengan perak kecuali sama (nilainya) dan janganlah menambahkan sebagian atas sebagian yang lain; dan janganlah menjual emas dan perak tersebut yang tidak tunai dengan yang tunai.”

5. Hadits Nabi riwayat Muslim dari Bara’ bin ‘Azib dan Zaid bin Arqam:

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْوَرِقِ بِالذَّهَبِ دَيْنًا.

“Rasulullah saw melarang menjual perak dengan emas secara piutang (tidak tunai).”

6. Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf al-Muzani, Nabi SAW bersabda:

الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلاَّ صُلْحًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا.

“Perdamaian (musyawarah mufakat) boleh dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”

Kaidah Ushul dan Kaidah Fikih

  1. Kaidah Ushul:

    الحُكْمُ يَدُوْرُ مَعَ عِلَّتِهِ وُجُوْدًا وَعَدَمًا.

    “Hukum berputar (berlaku) bersama ada atau tidak adanya ‘illat.”
    (‘Ali Ahmad al-Nadawiy, Mawsu’ah al-Qawa’id wa al-Dhawabith al-Fiqhiyah al-Hakimah li-al-Mu’amalat al-Maliyah fi al-Fiqh al-Islamiy, Riyadh: Dar ‘Alam al-Ma’rifah, 1999; J. 1, h. 395).

  2. Kaidah Fikih:

    الْعَادَةُ مُحَكَّمَةٌ.

    “Adat (kebiasaan masyarakat) dijadikan dasar penetapan hukum.”
    (Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman al-Suyuthiy, al-Asybah wa al-Nazha’ir fi Qawa’id wa Furu’ al-Syafi’iyah, al-Qahirah: Dar al-Salam, 2004, cet. ke-2, h. 221).

  3. Kaidah Fikih:

    أَنَّ الْأَحْكَامَ الْمُتَرَتِّبَةَ عَلَى الْعَوَائِدِ تَدُوْرُ مَعَهَا كَيْفَمَا دَارَتْ، وَتَبْطُلُ مَعَهَا إذَا بَطَلَتْ كَالنُّقُودِ فِي الْمُعَامَلَاتِ …

    “Hukum yang didasarkan pada adat (kebiasaan) berlaku bersama adat tersebut dan batal (tidak berlaku) bersamanya ketika adat itu batal, seperti mata uang dalam muamalat …”
    (Al-Qarafi, Anwar al-Buruq fi Anwa’ al-Furuq, j. 2, h. 228)

  4. Kaidah Fikih

    مِنْ الذَّخِيرَةِ : قَاعِدَةٌ : كُلُّ حُكْمٍ مُرَتَّبٍ عَلَى عُرْفٍ أَوْ عَادَةٍ يَبْطُلُ عِنْدَ زَوَالِ تِلْكَ الْعَادَةِ ، فَإِذَا تَغَيَّرَ تَغَيَّرَ الْحُكْمُ .

    “(Dikutip) dari kitab al-Dzakhirah sebuah kaidah: Setiap hukum yang didasarkan pada suatu ‘urf (tradisi) atau adat (kebiasaan masyarakat) menjadi batal (tidak berlaku) ketika adat tersebut hilang. Oleh karena itu, jika adat berubah, maka hukum pun berubah.”
    (Al-Taj wa al-Iklil li-Mukhtashar Khalil, j. 7, h. 68)

  5. Kaidah Fikih:

    الأَصْلُ فِي الْمُعَامَلاَتِ اْلإِبَاحَةُ إِلاَّ أَنْ يَدُلَّ دَلِيْلٌ عَلَى تَحْرِيْمِهَا.

    “Pada dasarnya, segala bentuk mu’amalat boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”

Rujukan dan Pendapat Beberapa Ulama

  1. Syaikh ‘Ali Jumu’ah, mufti al-Diyar al-Mishriyah, al-Kalim al-Thayyib Fatawa ‘Ashriyah, al-Qahirah: Dar al-Salam, 2006, h. 136:

    يَجُوْزُ بَيْعُ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ الْمُصَنَّعَيْنِ – أَوِ الْمُعَدَّيْنِ لِلتَّصْنِيْعِ – بِالتَّقْسِيْطِ فِيْ عَصْرِنَا الْحَاضِرِ حَيْثُ خَرَجَا عَنِ التَّعَامُلِ بِهِمَا كَوَسِيْطٍ لِلتَّبَادُلِ بَيْنَ النَّاسِ وَصَارَا سِلْعَةً كَسَائِرِ السِّلَعِ التِّيْ تُبَاعُ وَتُشْتَرَى بِالْعَاجِلِ وَاْلآجِلِ، وَلَيْسَتْ لَهُمَا صُوْرَةُ الدِّيْنَارِ وَالدِّرْهَمِ اللَّذَيْنِ كَانَا يُشْتَرَطُ فِيْهَا الْحُلُوْلُ وَالتَّقَابُضُ فِيْمَا رَوَاهُ أَبُوْ سَعِيْدٍ الْخُدْرِيُّ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: “لاَ تَبِيْعُوا الذَّهَبَ بِالذَّهَبِ إِلاَّ مِثْْلاً بِمِثْلٍ، وَلاَ تَبِيْعُوْا مِِنْهَا غَائِبًا بِنَاجِزٍ” (رواه البخاري). وَهُوَ مُعَلَّلٌ بِأَنَّ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ كَانَا وَسِيْلَتَيْ التَّبَادُلِ وَالتَّعَامُلِ بَيْنَ النَّاسِ، وَحَيْثُ انْتَفَتْ هذِهِ الْحَالَةُ اْلآنَ فَيَنْتَفِي الْحُكْمُ حَيْثُ يَدُوْرُ الْحُكْمُ وُجُوْدًا وَعَدَمًا مَعَ عِلَّتِهِ.
    وَعَلَيْهِ: فَلاَ مَانِعَ شَرْعًا مِنْ بَيْعِ الذَّهَبِ الْمُصَنَّعِ أَوِ الْمُعَدِّ لِلتَّصْنِيْعِ بِالْقِسْطِ.

    Boleh jual beli emas dan perak yang telah dibuat atau disiapkan untuk dibuat dengan angsuran pada saat ini di mana keduanya tidak lagi diperlakukan sebagai media pertukaran di masyarakat dan keduanya telah menjadi barang (sil’ah) sebagaimana barang lainnya yang diperjualbelikan dengan pembayaran tunah dan tangguh. Pada keduanya tidak terdapat gambar dinar dan dirham yang dalam (pertukarannya) disyaratkan tunai dan diserahterimakan sebagaimana dikemukakan dalam hadis riwayat Abu Sa’id al-Khudri bahwa Rasulullah saw bersabda: “Janganlah kalian menjual emas dengan emas kecuali dengan ukuran yang sama, dan janganlah menjual emas yang gha’ib (tidak diserahkan saat itu) dengan emas yang tunai.” (HR. al-Bukhari). Hadis ini mengandung ‘illat bahwa emas dan perak merupakan media pertukaran dan transaksi di masyarakat. Ketika saat ini kondisi itu telah tiada, maka tiada pula hukum tersebut, karena hukum berputar (berlaku) bersama dengan ‘illatnya, baik ada maupun tiada.
    Atas dasar itu, maka tidak ada larangan syara’ untuk menjualbelikan emas yang telah dibuat atau disiapkan untuk dibuat dengan angsuran.

  2. Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaily dalam al-Mu’amalat al-Maliyah al-Mu’ashirah, (Dimasyq: Dar al-Fikr, 2006, h. 133):

    وَكَذلِكَ شِرَاءُ الْحُلِّىِّ مِنَ الصَّائِغِ بِالتَّقْسِيْطِ لاَ يَجُوْزُ، لِعَدَمِ اكْتِمَالِ قَبْضِ الثَّمَنِ، وَلاَ يَصِحُّ أَيْضًا بِقَرْضٍ مِنَ الصَّائِغِ.

    “Demikian juga, membeli perhiasan dari pengrajin dengan pembayaran angsuran tidak boleh, karena tidak dilakukan penyerahan harga (uang), dan tidak sah juga dengan cara berutang dari pengrajin.”

  3. Pendapat Syekh Abdullah bin Sulaiman al-Mani’ dalam Buhuts fi al-Iqtishd al-Islamiy, (Bayrut: al-Maktab al-Islami, 1996), h. 322:

    مِمَّا تَقَدَّمَ يَتَّضِحُ أَنَّ الثَّمَنِيَّةَ فِي الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ مُوْغَلَةٌ فِيْهِمَا، وَأَنَّ النَّصَّ صَرِيْحٌ فِي اعْتِبَارِهِمَا مَالاً رِبَوِيًّا يَجِبُ فِي الْمُبَادَلَةِ بَيْنَهُمَا التَّمَاثُلُ وَالتَّقَابُضُ فِيْ مَجْلِسِ الْعَقْدِ فِيْمَا اتَّحَدَ جِنْسُهُ وَالتَّقَابُضُ فِيْ مَجْلِسِ الْعَقْدِ فِيْ بَيْعِ بَعْضِهِمَا بِبَعْضٍ إِلاَّ مَا أَخْرَجَتْهُ الصِّنَاعَةُ عَنْ مَعْنَى الثَّمَنِيَّةِ، فَيَجُوْزُ التَّفَاضُلُ بَيْنَ الْجِنْسِ مِنْهُمَا دُوْنَ النَّسَإِ عَلَى مَا سَبَقَ مِنْ تَوْضِيْحٍ وَتَعْلِيْلٍ.

    Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa status emas dan perak lebih dominan fungsinya sebagai tsaman (alat tukar, uang) dan bahwa nashsh sudah jelas menganggap keduanya sebagai harta ribawi, yang dalam mempertukarkannya wajib adanya kesamaan dan saling serah terima di majelis akad sepanjang jenisnya sama, dan saling serah terima di majelis akad dalam hal jual beli sebagiannya (emas, misalnya) dengan sebagian yang lain (perak), kecuali emas atau perak yang sudah dibentuk (menjadi perhiasan) yang menyebabkannya telah keluar dari arti (fungsi) sebagai tsaman (harga, uang); maka ketika itu, boleh ada kelebihan dalam mempertukarkan antara yang sejenis (misalnya emas dengan emas yang sudah menjadi perhiasan) tetapi tidak boleh ada penangguhan, sebagaimana telah dijelaskan pada keterangan sebelumnya.

  4. Dr. Khalid Mushlih dalam Hukmu Bai’ al-Dzahab bi al-Nuqud bi al-Taqsith:

    بَيْعُ الذَّهَبِ بِالنُّقُوْدِ الْوَرِقِيَّةِ بِالتَّقْسِيْطِ لِلْعُلَمَاءِ فِيْهِ قَوْلاَنِ فِي الْجُمْلَةِ: اَلْقَوْلُ اْلأَوَّلُ: اَلتَّحْرِيْمُ، وَهُوَ قَوْلُ أَكْثَرِ أَهْلِ اْلعِلْمِ، عَلَى خِلاَفٍ بَيْنَهُمْ فِي اْلاِسْتِدْلاَلِ لِهَذَا الْقَوْلِ، وَأَبْرَزُ مَا هُنَاكَ، أَنَّ الْوَرِقَ النَّقْدِيَّ وَالذَّهَبَ مِنَ اْلأَثْمَانِ، وَاْلأَثْمَانُ لاَ يَجُوْزُ بَيْعُهَا إِلاَّ يَدًا بِيَدٍ، لِمَا جَاءَ فِيْ ذلِكَ مِنَ اْلأَحَادِيْثِ، كَحَدِيْثِ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: (فَإذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ اْلأَجْنَاسُ فَبِيْعُوْا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ)، رَوَاهُ مُسْلِمٌ (1587).
    اَلْقَوْلُ الثَّانِيْ: الْجَوَازُ، وَبِهِ قَالَ جَمَاعَةٌ مِنَ الْفُقَهَاءِ الْمُعَاصِرِيْنَ، مِنْ أَبْرَزِهِمْ الشَّيْخُ عَبْدُ الرَّحْمنِ السَّعْدِيِّ، عَلَى اخْتِلاَفٍ بَيْنَهُمْ فِي اْلاِسْتِدْلاَلِ لِهذَا الْقَوْلِ، إِلاَّ أَنَّ أَبْرَزَ مَا يُسْتَنَدُ لَهُ هَذَا الْقَوْلُ، مَا ذَكَرَهُ شَيْخُ اْلإِسْلاَمِ ابْنُ تَيْمِيَّةَ وَابْنُ الْقَيِّمِ مِنْ جَوَازِ بَيْعِ الْحُلِّيِّ بِالذَّهَبِ نَسِيْئَةً، حَيْثُ قَالَ ابْنُ تَيْمِيَّةَ كَمَا فِي اْلاِخْتِيَارَاتِ:
    “يَجُوْزُ بَيْعُ الْمَصُوْغِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ بِجِنْسِهِ مِنْ غَيْرِ اشْتِرَاطِ التَّمَاثُلِ، وَيُجْعَلُ الزَّائِدُ فِيْ مُقَابِلِ الصُّنْعَةِ، سَوَاءٌ كَانَ الْبَيْعُ حَالاًّ أَوْ مُؤَجَّلاً، مَا لَمْ يُقْصَدْ كَوْنُهُ ثَمَنًا”،
    وَأَصْرَحُ مِنْهُ قَوْلُ ابِنِ الْقَيِّمِ: “أَنَّ الْحِلْيَةَ الْمُبَاحَةَ صَارَتْ بِالصَّنْعَةِ الْمُبَاحَةِ مِنْ جِنْسِ الثِّيَابِ وَالسِّلَعِ، لاَ مِنْ جِنْسِ اْلأَثْمَانِ، وَلِهذَا لَمْ تَجِبْ فِيْهَا الزَّكَاةُ، فَلاَ يَجْرِي الرِّبَا بَيْنَهَا وَبَيْنَ اْلأَثْمَانِ، كَمَا لاَ يَجْرِيْ بَيْنَ اْلأَثْمَانِ وَسَائِرِ السِّلَعِ، وَإِنْ كَانَتْ مِنْ غَيْرِ جِنْسِهَا، فَإِنَّ هَذِهِ بِالصِّنَاعَةِ قَدْ خَرَجَتْ عَنْ مَقْصُوْدِ اْلأَثْمَانِ، وَأُعِدَّتْ لِلتِّجَارَةِ، فَلاَ مَحْذُوْرَ فِيْ بَيْعِهَا بِجِنْسِهَا …” انتهى من إعلام الموقعين (2/247).

    Secara global, terdapat dua pendapat ulama tentang jual beli emas dengan uang kertas secara angsuran:
    Pendapat pertama: haram; ini adalah pendapat mayoritas ulama, dengan argumen (istidlal) berbeda-beda. Argumen paling menonjol dalam pendapat ini adalah bahwa uang kertas dan emas merupakan tsaman (harga, uang); sedangkan tsaman tidak boleh diperjualbelikan kecuali secara tunai. Hal ini berdasarkan hadis ‘Ubadah bin al-Shamit bahwa Nabi SAW bersabda, “Jika jenis (harta ribawi) ini berbeda, maka jualbelikanlah sesuai kehendakmu apabila dilakukan secara tunai.”
    Pendapat kedua: boleh (jual beli emas dengan angsuran). Pendapat ini didukung oleh sejumlah fuqaha masa kini; di antara yang paling menonjol adalah Syeikh Abdurahman As-Sa’di. Meskipun mereka berbeda dalam memberikan argumen (istidlal) bagi pandangan tersebut, hanya saja argumen yang menjadi landasan utama mereka adalah pendapat yang dikemukakan oleh Syeikh al-Islam Ibnu Taymiyah dan Ibnul Qayyim mengenai kebolehan jual beli perhiasan (terbuat emas) dengan emas, dengan pembayaran tangguh. Mengenai hal ini Ibnu Taymiyyah menyatakan dalam kitab al-Ikhtiyarat (lihat ‘Ala’ al-Din Abu al-Hasan al-Ba’liy al-Dimasyqiy, al-Ikhtiyarat al-Fiqhiyah min Fatawa Syaikh Ibn Taimuyah, al-Qahirah, Dar al-Istiqamah, 2005, h. 146):
    “Boleh melakukan jual beli perhiasan dari emas dan perak dengan jenisnya tanpa syarat harus sama kadarnya (tamatsul), dan kelebihannya dijadikan sebagai kompensasi atas jasa pembuatan perhiasan, baik jual beli itu dengan pembayaran tunai maupun dengan pembayaran tangguh, selama perhiasan tersebut tidak dimaksudkan sebagai harga (uang).”
    Ibnul Qayyim menjelaskan lebih lanjut: “Perhiasan (dari emas atau perak) yang diperbolehkan, karena pembuatan (menjadi perhiasan) yang diperbolehkan, berubah statusnya menjadi jenis pakaian dan barang, bukan merupakan jenis harga (uang). Oleh karena itu, tidak wajib zakat atas perhiasan (yang terbuat dari emas atau perak) tersebut, dan tidak berlaku pula riba (dalam pertukaran atau jual beli) antara perhiasan dengan harga (uang), sebagaimana tidak berlaku riba (dalam pertukaran atau jual beli) antara harga (uang) dengan barang lainnya, meskipun bukan dari jenis yang sama. Hal itu karena dengan pembuatan (menjadi perhiasan) ini, perhiasan (dari emas) tersebut telah keluar dari tujuan sebagai harga (tidak lagi menjadi uang) dan bahkan telah dimaksudkan untuk perniagaan. Oleh karena itu, tidak ada larangan untuk memperjualbelikan perhiasan emas dengan jenis yang sama…”
    (I’lam al-Muwaqqi’in; 2/247).
    http://www.almosleh.com/almosleh/article_1459.shtml

  5. Syaikh ‘Abd al-Hamid Syauqiy al-Jibaliy dalam Bai’ al-Dzahab bi al-Taqsith:

    إِنَّ حُكْمَ بَيْعِ الذَّهَبِ بِالتَّقْسِيْطِ اخْتَلَفَ فِيْهِ الْفُقَهَاءُ عَلَى النَّحْوِ التَّالِيْ:

    1. اَلْمَنْعُ: وَهُوَ قَوْلُ جَمَاهِيْرِ الْفُقَهَاءِ مِنَ الْحَنَفِيَّةِ، وَالْمَالِكِيَّةِ، وَالشَّافِعِيَّةِ، وَالْحَنَابِلَةِ.
    2. اَلْجَوَازُ: وَهُوَ رَأْيُ ابْنِ تَيْمِيَّةَ وَابْنِ الْقَيِّمِ وَمَنْ وَافَقَهُمَا مِنَ الْمُعَاصِرِيْنَ.

    اِسْتَدَلَّ الْقَائِلُوْنَ بِالْمَنْعِ بِعُمُوْمِ اْلأَحَادِيْثِ الْوَارِدَةِ فِي الرِّبَا، وَالَّتِيْ فِيْهَا: «لاَ تَبِعِ الذَّهَبَ بِالذَّهَبِ وَلاَ الْفِضَّةَ بِالْفِضَّةِ، إِلاَّ هَاءً بِهَاءٍ يَداً بِيَدٍ».
    وَقَالُوْا إِنَّ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ أَثْمَانٌ لاَ يَجُوْزُ فِيْهَا التَّقْسِيْطُ وَلاَ بَيْعُ اْلأَجَلِ، لأَنَّهُ مُفْضٍ إِلَى الرِّبَا.
    وَاِسْتَدَلَّ الْقَائِلُوْنَ بِالْجَوَازِ بِمَا يَلِيْ:

    1. أَنَّ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ هِيَ سِلَعٌ تُبَاعُ وَتُشْتَرَى يَجْرِيْ عَلَيْهَا مَا يَجْرِيْ عَلَى السِّلَعِ، وَلَمْ تَعُدْ أَثْمَاناً.
    2. لأَنَّ حَاجَةَ النَّاسِ مَاسَّةٌ إِلَى بَيْعِهَا وَشِرَائِهَا، فِإذَا لَمْ يَجُزْ بَيْعُهَا بِالتَّقْسِيْطِ فَسَدَتْ مَصْلَحَةُ النَّاسِ، وَوَقَعُوْا فِي الْحَرَجِ.
    3. أَنَّ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ بِالصَّنْعَةِ الْمُبَاحَةِ أَصْبَحَا مِنْ جِنْسِ الثِّيَابِ وَالسِّلَعِ، لاَ مِنْ جِنْسِ اْلأَثْمَانِ، فَلاَ يَجْرِي الرِّبَا بَيْنَهَا وَبَيْنَ اْلأَثْمَانِ، كَمَا لاَ يَجْرِيْ بَيْنَ اْلأَثْمَانِ وَسَائِرِ السِّلَعِ، وَإِنْ كَانَتْ مِنْ غَيْرِ جِنْسِهَا.
    4. لَوْ سُدَّ عَلَى النَّاسِ هذَا الْبَابُ، لَسُدَّ عَلَيْهِمْ بَابُ الدَّيْنِ، وَتَضَرَّرُوْا بِذَلِكَ غَايَةَ الضَّرَرِ.

    وَبَعْدَ هذَا، فَإِنَّ الرَّأْيَ الرَّاجِحَ عِنْدِيْ وَالَّذِيْ أُفْتِيْ بِهِ هُوَ جَوَازُ بَيْعِ الذَّهَبِ بِالتَّقْسِيْطِ لأَنَّهُ سِلْعَةٌ، وَلَيْسَ ثَمَناً، تَيْسِيْراً عَلَى الْعِبَادِ وَرَفْعاً لِلْحَرَجِ عَنْهُمْ.

    “Mengenai hukum jual beli emas secara angsuran, ulama berbeda pendapat sebagai berikut:

    1. Dilarang; dan ini pendapat mayoritas fuqaha, dari mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali;
    2. Boleh; dan ini pendapat Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim dan ulama kontemporer yang sependapat.

    Ulama yang melarang mengemukakan dalil dengan keumuman hadis-hadis tentang riba, yang antara lain menegaskan: “Janganlah engkau menjual emas dengan emas, dan perak dengan perak, kecuali secara tunai.”
    Mereka menyatakan, emas dan perak adalah tsaman (harga, alat pembayaran, uang), yang tidak boleh dipertukarkan secara angsuran maupun tangguh, karena hal itu menyebabkan riba.
    Sementara itu, ulama yang mengatakan boleh mengemukakan dalil sebagai berikut:

    1. Bahwa emas dan perak adalah barang (sil’ah) yang dijual dan dibeli seperti halnya barang biasa, dan bukan lagi tsaman (harga, alat pembayaran, uang).
    2. Manusia sangat membutuhkan untuk melakukan jual beli emas. Apabila tidak diperbolehkan jual beli emas secara anggsuran, maka rusaklah kemaslahatan manusia dan mereka akan mengalami kesulitan.
    3. Emas dan perak setelah dibentuk menjadi perhiasan berubah menjadi seperti pakaian dan barang, dan bukan merupakan tsaman (harga, alat pembayaran, uang). Oleh karenanya tidak terjadi riba riba (dalam pertukaran atau jual beli) antara perhiasan dengan harga (uang), sebagaimana tidak terjadi riba (dalam pertukaran atau jual beli) antara harga (uang) dengan barang lainnya, meskipun bukan dari jenis yang sama.
    4. Sekiranya pintu (jual beli emas secara angsuran) ini ditutup, maka tertutuplah pintu utang piutang, masyarakat akan mengalami kesulitan yang tidak terkira.

    Berdasarkan hal-hal di atas, maka pendapat yang rajih dalam pandangan saya dan pendapat yang saya fatwakan adalah boleh jual beli emas dengan angsuran, karena emas adalah barang, bukan harga (uang), untuk memudahkan urusan manusia dan menghilangkan kesulitan mereka.

Pendapat peserta Rapat Pleno DSN-MUI

Pendapat peserta Rapat Pleno DSN-MUI pada hari Kamis, tanggal 20 Jumadil Akhir 1431 H/03 Juni 2010 M; antara lain sebagai berikut:

  1. Hadis-hadis Nabi yang mengatur pertukaran (jual beli) emas dengan emas, perak dengan perak, serta emas dengan perak atau sebaliknya, mensyaratkan, antara lain, agar pertukaran itu dilakukan secara tunai; dan jika dilakukan secara tidak tunai, maka ulama sepakat bahwa pertukaran tersebut dinyatakan sebagai transaksi riba; sehingga emas dan perak dalam pandangan ulama dikenal sebagai amwal ribawiyah (barang ribawi).
  2. Jumhur ulama berpendapat bahwa ketentuan atau hukum dalam transaksi sebagaimana dikemukakan dalam point 1 di atas merupakan ahkam mu`allalah (hukum yang memiliki ‘illat); dan ‘illat-nya adalah tsamaniyah, maksudnya bahwa emas dan perak pada masa wurud hadis merupakan tsaman (harga, alat pembayaran atau pertukaran, uang).
  3. Uang – yang dalam literatur fiqh disebut dengan tsaman atau nuqud (jamak dari naqd)– didefinisikan oleh para ulama, antara lain, sebagai berikut:

    اَلنَّقْدُ هُوَ كُلُّ وَسِيْطٍ للتَّبَادُلِ يَلْقَى قَبُوْلاً عَامًّا مَهْمَا كَانَ ذَلِكَ الْوَسِيْطُ وَعَلَى أَيِّ حَالٍ يَكُوْنُ (عبد الله بن سليمان المنيع، بحوث في الاقتصاد الإسلامي، مكة المكرمة: المكتب الإسلامي، 1996، ص: 178)

    “Naqd (uang) adalah segala sesuatu yang menjadi media pertukaran dan diterima secara umum, apa pun bentuk dan dalam kondisi seperti apa pun media tersebut.” (Abdullah bin Sulaiman al-Mani’, Buhuts fi al-Iqtishad al-Islami, Mekah: al-Maktab al-Islami, 1996, h. 178)

    اَلنَّقْدُ: مَا اتَّخَذَ النَّاسُ ثَمَنًا مِنَ الْمَعَادِنِ الْمَضْرُوْبَةِ أَوْ الأَوْرَاقِ الْمَطْبُوْعَةِ وَنَحْوِهَا، الصَّادِرَةِ عَنِ الْمُؤَسَّسَةِ الْمَالِيَّةِ صَاحِبَةِ اْلاِخْتِصَاصِ (محمد رواس قلعه جي، المعاملات المالية المعاصرة في ضوء الفقه والتشريع، بيروت: دار النفائس، 1999، ص: 23)

    “Naqd adalah sesuatu yang dijadikan harga (tsaman) oleh masyarakat, baik terdiri dari logam atau kertas yang dicetak maupun dari bahan lainnya, dan diterbitkan oleh lembaga keuangan pemegang otoritas.” (Muhammad Rawas Qal’ah Ji, al-Mu’amalat al-Maliyah al-Mu’ashirah fi Dhau’ al-Fiqh wa al-Syari’ah, Beirut: Dar al-Nafa’is, 1999, h. 23)

  4. Dari definisi tentang uang di atas dapat dipahami bahwa sesuatu, baik emas, perak maupun lainnya termasuk kertas, dipandang atau berstatus sebagai uang hanyalah jika masyarakat menerimanya sebagai uang (alat atau media pertukaran) dan – berdasarkan pendapat Muhammad Rawas Qal’ah Ji – diterbitkan atau ditetapkan oleh lembaga keuangan pemegang otoritas. Dengan kata lain, dasar status sesuatu dinyatakan sebagai uang adalah adat (kebiasaan atau perlakuan masyarakat).
  5. Saat ini, masyarakat dunia tidak lagi memperlakukan emas atau perak sebagai uang, tetapi memperlakukannya sebagai barang (sil’ah). Demikian juga, Ibnu Taymiyah dan Ibnu al-Qayyim menegaskan bahwa jika emas atau perak tidak lagi difungsikan sebagai uang, misalnya telah dijadikan perhiasan, maka emas atau perak tersebut berstatus sama dengan barang (sil’ah).
  6. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas dan dengan memper-hatikan qaidah ushul al-fiqh dan qaidah fiqh sebagaimana dikemukakan pada bagian mengingat angka 3, maka saat ini syarat-syarat atau ketentuan hukum dalam pertukaran emas dan perak yang ditetapkan oleh hadis Nabi sebagaimana disebutkan pada huruf a tidak berlaku lagi dalam pertukaran emas dengan uang yang berlaku saat ini.

Putusan DSN MUI Terkait Jual Beli Emas

Menurut fatwa DSN-MUI Nomor 77/DSN-MUI/VI/2010, jual beli emas secara tidak tunai, baik melalui jual beli biasa atau jual beli murabahah, hukumnya adalah boleh (mubah, ja’iz), selama emas tersebut tidak dijadikan sebagai alat tukar yang resmi (uang). 

Namun dalam fatwa tersebut, terdapat beberapa batasan dan ketentuan yang harus dipatuhi dalam melakukan transaksi jual beli emas secara tidak tunai, antara lain:

  1. Harga jual (tsaman) tidak boleh bertambah selama jangka waktu perjanjian meskipun ada perpanjangan waktu setelah jatuh tempo.
  2. Emas yang dibeli dengan pembayaran tidak tunai boleh dijadikan jaminan (rahn).
  3. Emas yang dijadikan jaminan sebagaimana dimaksud dalam angka 2 tidak boleh dijualbelikan atau dijadikan obyek akad lain yang menyebabkan perpindahan kepemilikan.

Suka dengan artikel ini? Yuk sharing ke temen-temen kamu ya. Semoga bermanfaat!

You may also like

Leave a Comment

-
00:00
00:00
Update Required Flash plugin
-
00:00
00:00