Kok bisa Goodwill bikin Rugi GOTO sampai 90 Triliun? Yuk Kita Bahas!
Perusahaan teknologi yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) mendapat perlakuan istimewa, dengan otoritas bursa menyambut baik perusahaan-perusahaan rintisan yang ingin melakukan penawaran saham perdana (initial public offering/IPO) dengan mengadakan acara yang istimewa. Perlakuan khusus ini mencakup kemungkinan bagi perusahaan-perusahaan IPO untuk tetap diizinkan meskipun mereka masih mengalami kerugian, asalkan mereka memiliki prospek fundamental yang cerah ke depannya.
Dalam konteks saham atau perusahaan teknologi, metrik valuasi umum seperti price to earnings (PER) dan price to book value (PBV) biasanya cenderung rendah, yang menandakan nilai saham yang lebih terjangkau.
Namun, disayangkan, masih ada beberapa perusahaan teknologi dari startup yang belum dapat diukur PER dan PBV-nya karena masih mengalami kerugian.
Secara mendasar, PBV digunakan sebagai salah satu indikator awal untuk menilai apakah suatu saham mahal atau murah, namun penggunaannya terbatas karena hanya memperhitungkan neraca keuangan tanpa mempertimbangkan laporan laba rugi perusahaan. Selain itu, kualitas aset dan kondisi industri tiap perusahaan juga berbeda, yang dapat menimbulkan kesan yang tidak akurat.
Perusahaan yang memiliki sebagian besar aset lancar cenderung memiliki PBV yang lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan yang memiliki mayoritas asetnya dalam kategori tidak lancar atau tidak dapat diubah menjadi uang tunai dengan cepat.
Situasi ini juga terjadi pada sejumlah perusahaan teknologi yang sudah terdaftar di bursa, di mana sebagian besar aset mereka termasuk dalam kategori tidak lancar. Lebih dari 80% dari aset tidak lancar ini diklasifikasikan sebagai goodwill.
Baca Juga : Pasar Saham: Jangan Pernah Menebak Arah Market
Goodwill Itu Apa?
Goodwill adalah bagian dari aset yang tercantum dalam neraca keuangan suatu perusahaan, termasuk dalam kategori aset tidak berwujud. Oleh karena itu, nilai goodwill sulit untuk diukur secara pasti sehingga mungkin tidak sepenuhnya mencerminkan kondisi finansial perusahaan.
Goodwill terbentuk ketika suatu perusahaan melakukan akuisisi bisnis lain dengan harga yang lebih tinggi daripada nilai bersih asetnya. Umumnya, selisih tersebut dianggap sebagai goodwill.
Penerapan goodwill adalah hal yang umum, terutama di perusahaan-perusahaan teknologi, karena banyak aset mereka bersifat tidak berwujud.
Aset tidak berwujud mencakup paten hingga data konsumen. Namun, tantangan utama terletak pada seberapa akurat dan tepatnya goodwill dalam mencerminkan nilai aset tidak berwujud yang dimiliki perusahaan.
Meskipun demikian, Bursa Efek Indonesia (BEI) sebagai regulator utama dalam pencatatan perusahaan publik di Indonesia tidak mengatur secara rinci mengenai goodwill dalam panduan dan persyaratan IPO.
Syarat Papan Utama di Bursa Efek
Otoritas bursa hanya menetapkan bahwa perusahaan yang akan terdaftar di papan utama harus memiliki aset berwujud senilai lebih dari Rp 100 miliar, dan untuk papan pengembangan minimal Rp 5 miliar.
“Dalam hal persyaratan angka dalam laporan keuangan, perusahaan diwajibkan memenuhi ketentuan batas minimal aset bersih berwujud atau net tangible asset (NTA) senilai minimal Rp 5 miliar. NTA dihitung dari total aset dikurangi dengan aset tidak berwujud, aset pajak tangguhan, total liabilitas, dan kepentingan non-pengendali,” demikian disampaikan BEI melalui Panduan IPO.
Menurut buku panduan BEI, tidak ada aturan yang spesifik mengenai aset tidak berwujud, termasuk aturan tentang goodwill.
Kondisi ini menyebabkan sulitnya mengidentifikasi goodwill secara pasti, yang mengakibatkan sebagian besar saham teknologi di Indonesia masih mencatatkan kerugian bersih, meskipun terjadi pemulihan di sisi keuangan lainnya.
Aset Tidak Berwujud GOTO
Sebagai contoh, saham PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO) mengalami peningkatan signifikan pada aset tidak berwujud GOTO saat IPO karena adanya merger dan akuisisi dengan Tokopedia. Dalam proses merger tersebut, Tokopedia dinilai jauh di atas nilai bersih asetnya.
Pada saat merger pada Mei 2021, nilai akuisisi Tokopedia mencapai Rp 103,2 triliun dan menghasilkan goodwill sebesar Rp 93,12 triliun. Dengan nilai bersih aset Tokopedia sebesar Rp 10 triliun.
Biaya akuisisi yang tinggi ini tidak terjadi tanpa alasan, karena pada puncaknya Tokopedia sempat mencapai valuasi US$ 7,5 miliar atau setara dengan Rp 112,5 triliun pada putaran pendanaan seri A yang didukung oleh Temasek dan Google.
Akuisisi dilakukan secara non-tunai, dengan perusahaan membayar pemegang saham sebelumnya dalam bentuk kepemilikan saham di GOTO.
Valuasi
Merger ini terjadi pada saat investor memompa dana ke startup secara besar-besaran setelah pandemi, karena kebijakan moneter yang longgar menyebabkan arus dana ke sektor teknologi terus meningkat. Hal ini menyebabkan valuasi perusahaan juga meningkat, termasuk di Tokopedia karena optimisme investor dana swasta.
Namun, dengan ketatnya kebijakan moneter global, situasi perusahaan teknologi berubah. Valuasi yang tinggi ini tidak dapat dipertahankan, dengan sejumlah startup global mengalami penurunan valuasi yang signifikan.
Misalnya, valuasi perusahaan pembayaran Stripe turun dari US$ 95 miliar menjadi US$ 50 miliar, sementara valuasi raksasa edutech India Byju turun dari US$ 22 miliar menjadi hanya US$ 1 miliar.
Fenomena serupa juga terjadi di Tokopedia, di mana perusahaan secara internal mencatatkan kerugian akibat penurunan nilai pada laporan keuangannya pada tahun 2022.
Pada saat itu, perusahaan mencatat penurunan nilai sebesar Rp 17 triliun dari goodwill Tokopedia, yang sebelumnya mencapai Rp 93 triliun pada awal merger menjadi Rp 76 triliun pada akhir tahun.
Baru-baru ini, setelah akuisisi oleh Tokopedia oleh TikTok, GOTO kembali mengalami penurunan nilai goodwill yang lebih besar.
Pada akhir tahun lalu, Tokopedia diakuisisi oleh TikTok seharga US$ 840 juta atau sekitar Rp 13 triliun, dengan TikTok memegang kendali dengan kepemilikan 75%.
Ini berarti sisa kepemilikan GOTO sebesar 25% di Tokopedia bernilai 3,38 triliun, seperti yang diungkapkan dalam laporan keuangan terbaru GOTO.
Dalam proses akuisisi ini, Tokopedia kembali mengalami penurunan nilai sebesar 73,19 triliun.
Hal ini pada akhirnya memengaruhi kinerja laba bersih perusahaan yang tercatat sebesar Rp 90,39 triliun.
Penting untuk dicatat bahwa kerugian akibat penurunan nilai ini merupakan kerugian non-tunai, yang tidak berdampak langsung pada kas dan likuiditas perusahaan, karena goodwill berasal dari transaksi non-tunai. Penurunan nilai ini juga dapat diinterpretasikan sebagai pelepasan gelembung valuasi Tokopedia.
Ini merupakan kali terakhir Tokopedia disertakan dalam laporan keuangan GOTO, karena setelah kehilangan kendali pada 1 Februari, Tokopedia tidak lagi dianggap sebagai entitas anak GOTO dan laporannya kini disertakan dalam konsolidasi TikTok.
Suka dengan artikel ini? Yuk sharing ke temen-temen kamu ya. Semoga bermanfaat!
Ramadhan,RSA,AWP Equity Research Analyst Syariah Saham