Candlestick, atau lilin dalam bahasa Indonesia, bukanlah sekadar benda yang berfungsi untuk memberikan cahaya di dalam kegelapan. Selain menjadi sumber cahaya yang penting bagi manusia selama ribuan tahun dan juga memiliki peran yang sangat signifikan dalam dunia investasi. Pola candlestick telah menjadi salah satu alat analisis teknis yang paling populer dan kuat digunakan oleh para trader dan investor untuk membaca pergerakan pasar saham, forex, komoditas, dan pasar keuangan lainnya. Dalam artikel ini, kita akan mengupas sejarah candlestick di dunia investasi dan mengungkap bagaimana pola ini telah berkembang menjadi bagian tak terpisahkan dari strategi perdagangan modern.
Sejarahnya dimulai di Jepang pada abad ke-17. Saat itu, beras menjadi salah satu komoditas yang paling penting dalam perdagangan. Pemerintah Jepang saat itu menciptakan sistem harga beras untuk memfasilitasi perdagangan yang lebih efisien. Sistem ini memungkinkan harga beras di pasar untuk ditentukan dengan lebih transparan dan adil.
Untuk mencatat pergerakan harga beras, para pedagang menggunakan lembaran kertas yang disebut “rice tickets”. Namun, pada awalnya informasi yang disajikan kurang terstruktur dan sulit untuk dipahami. Inilah saat di mana munculnya pola candlestick pertama kali.
Seorang pedagang bernama Munehisa Homma, yang juga dikenal sebagai “bapak analisis teknikal Jepang,” menyadari bahwa harga beras dipengaruhi oleh emosi para pedagang, seperti keserakahan dan ketakutan. Dari sinilah ide pembuatan candle stick muncul. Homma menggunakan rice tickets untuk mencatat harga pembukaan dan penutupan pasar serta harga tertinggi dan terendah pada periode tertentu. Ia kemudian menggambar garis melalui harga penutupan dan harga pembukaan untuk membentuk apa yang kita sebut sekarang sebagai tubuh lilin (candle body). Jika harga penutupan lebih tinggi dari harga pembukaan, maka tubuh lilin akan berwarna putih, sedangkan jika harga penutupan lebih rendah dari harga pembukaan, maka tubuh lilin akan berwarna hitam.

Evolusi Pola Candlestick
Setelah diperkenalkannya pola oleh Homma, metode analisis ini semakin berkembang dan menjadi alat yang sangat berharga bagi para pedagang dan spekulan di pasar beras Jepang. Pada awal abad ke-18, seorang ahli teknis Jepang bernama Sokyu Honma, juga dikenal sebagai Sakata Senkoue, menyempurnakan penggunaan candle stick dalam analisis pasar. Karya-karyanya mengenai analisis teknikal, termasuk pembuatan diagram batang, memberikan kontribusi besar bagi pengembangan candle stick.
Pada abad ke-19, Charles Dow, pendiri Dow Jones & Company, dan rekan bisnisnya Edward Jones, menggabungkan pola candlestick Jepang dengan analisis barat. Mereka menciptakan sistem analisis yang terdiri dari serangkaian aturan yang memungkinkan para pedagang untuk mengidentifikasi tren pasar dan titik pembalikan dengan lebih baik.
Pengenalan Pola Candlestick di Dunia Barat
Baru pada tahun 1980-an, pola candle mulai diperkenalkan ke dunia barat. Steve Nison, seorang teknisi asal Amerika Serikat, menemukan potensi besar dari pola candle Jepang dan mulai mempelajarinya secara mendalam. Ia kemudian menerbitkan buku “Japanese Candlestick Charting Techniques” pada tahun 1991, yang mendapat sambutan hangat dari komunitas investasi dan perdagangan di seluruh dunia. Buku ini membantu mengubah cara para trader di Barat menganalisis pasar dan menjadi fondasi bagi penggunaan pola candle yang luas hingga saat ini.
Warna Candlestick
Grafik candlestick pertama kali digunakan pada pasar beras, dan warna-warna pada candlestick berasal dari cara perhitungan dan presentasi data harga pada saat itu. Asal usul warna merah, kuning, dan hijau dalam candlestick sebagian besar terkait dengan konvensi dan preferensi dari platform dan grafik yang digunakan oleh trader dan analis teknikal. Berikut adalah penjelasan konvensi umum yang sering digunakan:
- Merah (Red): Dalam banyak platform dan grafik, candlestick berwarna merah biasanya menunjukkan bahwa harga penutupan (closing price) berada di bawah harga pembukaan (opening price). Ini mengindikasikan adanya tekanan jual (bearish) pada periode waktu tersebut.
- Hijau (Green): Sebaliknya, candlestick berwarna hijau menunjukkan bahwa harga penutupan berada di atas harga pembukaan. Ini menunjukkan adanya tekanan beli (bullish) pada periode waktu tersebut.
- Kuning (Yellow): Beberapa platform atau sistem charting menggunakan warna kuning atau tan untuk menunjukkan candlestick netral, yaitu saat harga pembukaan dan penutupan sama atau sangat mendekati.
Warna-warna ini dipilih karena lebih mudah dibedakan oleh mata manusia dalam visualisasi grafik, dan juga membantu pedagang dan analis teknis untuk dengan cepat mengidentifikasi sentimen pasar berdasarkan pola candlestick yang terbentuk.
Suka dengan artikel ini? Yuk sharing ke temen-temen kamu ya. Semoga bermanfaat!

Achmad Abdul Arifin: Seorang Trader Saham Syariah yang Mempunyai Motto "Menjadi Tak Terlihat dan Melampauinya"